Papua Sago: Nature’s Forgotten Treasure
Sagu adalah sebuah ironi dalam sejarah panjang pangan Indonesia, juga teka-teki dalam cerita Nusantara. Pikiran tersebut yang tiba-tiba terlintas di kepala saya saat menyusuri kanal-kanal yang begitu lembab di kawasan rawa di Sorong Selatan, Papua Barat Daya. Membutuhkan sekitar 6 jam menempuh perjalanan darat dan 6 jam menyusuri sungai untuk mencapai tempat ini. Tentu apabila tidak dibarengi dengan drama rusak mesin. Di tempat ini, hutan sagu membentang luas, menjadi saksi bisu dari kekayaan pangan yang kian terlupakan.
Dengan luasan sekitar 5,2 juta hektar, Papua menjadi rumah bagi hutan sagu terbesar di dunia, tumbuh alami di lahan gambut dan rawa-rawa. Namun, potensi ini masih jauh dari optimal, bahkan terus terancam oleh alih fungsi lahan yang terus mengintai.
“Di masa lalu, sagu adalah penopang hidup bagi masyarakat pesisir di Maluku, Papua, Sulawesi, hingga Sumatra” .
Cerita seorang pekerja di pabrik sagu PT ANJ Agri Papua (ANJAP). Perusahaan yang saya kunjungi ini merupakan sebuah anak perusahaan dari PT Austindo Nusantara Jaya Tbk (ANJ).
Memang, sebagai salah satu bahan pangan tertua di Nusantara, sagu telah menjadi makanan pokok selama ribuan tahun. Sayangnya, modernitas dan kebijakan yang meminggirkan perannya perlahan menggusur sagu dari kehidupan sehari-hari. Generasi kini nyaris asing dengan makanan tradisional seperti papeda, bubur sagu kenyal khas Papua, atau bagea kenari dari Maluku, yang dulu selalu menjadi favorit.
Sagu memiliki keunggulan luar biasa. Vegetasi ini mampu tumbuh di lahan marginal tanpa perawatan intensif, menjadikannya lebih ramah lingkungan dibanding padi atau gandum. Selain tinggi kalori, sagu juga bebas gluten, kaya akan resistant starch yang baik untuk kesehatan usus, dan memiliki indeks glikemik rendah—ideal untuk pengendalian gula darah. Di tengah isu ketahanan pangan dan krisis iklim, sagu menjadi alternatif menarik yang berpotensi besar menggantikan karbohidrat konvensional.
Mengunjungi Papua, melihat langsung hutan sagu yang lebat membuat saya membuka mata bahwa sesungguhnya sagu merupakan harta karun bangsa yang menunggu untuk dimaksimalkan. Sebagai sumber pangan yang alami, renewable, dan sustainable, sagu menawarkan solusi nyata bagi masa depan pangan Indonesia. Dengan pengelolaan yang tepat, dukungan teknologi, serta promosi yang intensif, rasanya bukan tidak mungkin sagu bisa kembali berjaya seperti di masa lalu—bukan sekedar simbol tradisi, tetapi juga harapan akan ketahanan pangan nasional.
All Photographs by Ahmad Zamroni for ANJ
“Sago is a bittersweet irony in Indonesia’s food history and an enigma in Indonesia’s culinary story.”
This thought struck me as I glided through the humid canals of South Sorong, West Papua. With an impressive 5.2 million hectares, Papua boasts the largest sago forest in the world, thriving naturally in peatlands and swamps. Yet, despite its abundance, this natural wonder faces neglect, its potential overshadowed by the relentless march of land conversion.
“In the past, sago was the lifeline for coastal communities in Maluku, Papua, Sulawesi, and Sumatra,” said a worker at PT ANJ Agri Papua, a subsidiary of PT Austindo Nusantara Jaya Tbk (ANJ), during my visit.
For centuries, sago was a staple food in these regions. But modernity, coupled with policies favoring rice, gradually pushed sago out of the spotlight. Today, traditional dishes like papeda—a chewy sago porridge from Papua—or bagea kenari—a nutty biscuit from Maluku—are becoming strangers to the younger generation, even though they once held a cherished place on their plates.
Beyond its cultural roots, sago is a nutritional powerhouse. It thrives in poor soil without intensive care, making it an eco-friendly crop. Packed with calories, gluten-free, and rich in resistant starch, it’s excellent for gut health and controlling blood sugar. As the world grapples with food security and climate change, sago stands out as a sustainable alternative to conventional staples like rice and wheat.
Amidst Papua’s towering sago palms, I saw a glimmer of hope. This renewable and sustainable resource is more than a story of the past—it’s a promise for the future. With thoughtful management, innovation, and renewed appreciation, sago could reclaim its rightful place—not just as a symbol of tradition, but as a cornerstone of Indonesia’s food resilience.
Let’s make sago great again !!